SELF IMPROVEMENT SEBAGAI GURU AGAMA

Berita

Sebagai seorang guru agama Katolik di tingkat SMA, saya menyadari bahwa pembelajaran tidak hanya sebatas menyampaikan materi ajaran gereja, tetapi juga membimbing siswa untuk menghayati dan mengaplikasikan nilai-nilai Kristiani dalam kehidupan sehari-hari. Dalam refleksi ini, saya ingin mengevaluasi perjalanan mengajar serta pencapaian dan tantangan yang dihadapi selama proses pembelajaran.

            Tantangan yang saya hadapi adalah bagaimana pelajaran agama tetap menjadi relevan di masa sekarang. Ketertarikan mereka pada teknologi dan informasi yang instan membuat agak susah menarik perhatian mereka pada ajaran iman. Di samping itu, Tingkat pemahaman dan latar belakang yang berbeda, terutama latar belakang iman yang berbeda merupakan tantangan menyampaikan materi pembelajaran.

            Siswa yang antusias, yang sering mengatakan, “lha ini yang ditunggu…” menjadi tugas saya untuk memberikan sesuatu yang baru dalam pembelajaran. Menghadapi siswa yang kritis, yang selalu bertanya dan menanyakan sesuatu yang sifatnya kontekstual membuat saya untuk selalu memperkaya informasi dengan meng-update pengetahuan tentang ajaran gereja dan Kitab Suci. Menghadapi siswa yang kurang antusias, justru menjadi tantangan bagi saya supaya selalu menyajikan pembelajaran yang menarik sekaligus mendalam, sehingga mereka tidak lagi memandang pembelajaran agama suatu yang membosankan, dan ini yang masih saya usahakan terus menerus supaya dapat diterapkan dalam setiap pembelajaran. Di samping itu, juga harus bisa tarik ulur dengan siswa sehingga siswa juga merasa terfasilitasi.

            Upaya konkrit menghadapi situasi ini adalah harus banyak belajar dan mau berkembang. Mind set harus diarahkan pada pengembangan diri terus menerus, sekaligus cara menerapkannya yang sesuai dengan situasi dan kondisi siswa. CGP dan sebentar lagi PPG, bagi saya tantangan sekaligus peluang untuk mengembangkan diri saya. Tentu harapan ideal menjadi tujuan akhir, tetapi menyesuaikan dengan kapasitas diri juga sangat penting, sehingga pengembangan diri saya menjadi sesuai dan bermakna.

            Akhirnya dengan mampu mengembangkan diri, berarti saya juga peduli dengan perkembangan diri siswa. Pengetahuan yang saya dapat harus bisa saya bagikan kepada siswa secara optimal, agar merekapun dapat semakin memahami iman, atau setidaknya menambah pengetahuan mereka untuk belajar iman Katolik. 15 tahun merupakan pengalaman jatuh bangun dalam mengajar, tidak selalu menyenangkan, tetapi setidaknya ada makna yang saya dapatkan dalam setiap peristiwa itu. Siswa berkembang menjadi perjuangan, siswa sukses menjadi kebanggaan. Berkah Dalem.

Guru Agama Katolik

Cahya Sasangka, S.S