Untuk refleksi hari ini saya akan merefleksikan tentang hal yang terkait dengan keutamaan Vinsensian, terutama keutamaan matiraga. Yang menjadi permenungan saya tentang keutamaan kelembutan hati dan matiraga adalah tentang bagaimana menjadi teladan.
Saya akan mengawali dengan sebuah cerita. Saat di rumah, setiap yang saya lakukan atau ucapkan seringkali diikuti oleh anak saya. Misalnya saat saya gosok gigi, anak saya yang beberapa menit sebelum saya gosok gigi ikut-ikutan untuk gosok gigi. Kemudian hal lain misalnya saya tiba-tiba terbatuk itupun ditirukan batuk-batuknya. Dan banyak lagi. Dari peristiwa sederhana ini, yang menjadi permenungan saya adalah menjadi orangtua atau yang dituakan berarti mempunyai konsekuensi akan diikuti segala tingkah laku atau bahkan pola pikirnya. Terlebih ini kalau saya renungkan terkait dengan kehidupan dalam dunia pendidikan di persekolahan ini. Guru adalah tokoh terdepan dalam dunia pendidikan karena bersentuhan langsung dengan para siswa. Apa yang dilakukan, dikatakan bahkan kalau cara berpikir tertentu dari guru bisa menjadi contoh konkrit yang bisa ditiru oleh siswa baik langsung maupun tidak langsung. Dalam hal ini diandaikan bahwa saya sebagai guru harus mampu menempatkan diri sebaik-baiknya. Inilah bagi saya yang masuk dalam keutamaan matiraga.
Kenapa bagi saya menjadi teladan itu penting untuk dijadikan sebagai bahan permenungan, karena menjadi teladan ternyata membutuhkan banyak pengorbanan dan terkait dengan banyak pertimbangan. Dalam Matius 7: 12 Yesus mengatakan, “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka”. Menjadi teladan berarti juga melakukan yang baik dan sedapat mungkin menjauhi yang jahat. Hidup dinilai secara moralitas, karena apa yang baik dan buruk yang saya lakukan langsung dapat dinilai dengan orang yang ada di sekitar saya. Misalnya kalau saya mengharapkan orang lain menjadi rajin, pertama-tama saya menilai diri saya dulu apakah saya sudah rajin atau belum, baru sesudah itu saya mampu untuk mengajak orang lain untuk menjadi yang sama dengan apa yang sudah saya hidupi. Misalnya saat menyanyikan lagu Indonesia Raya, sekolah menginginkan seluruh warga sekolah mengikuti dengan cara berdiri dan menyanyikan Indonesia Raya. Apakah ini, pertama-tama sudah saya lakukan? Bagi saya inilah pentingnya saya menyiapkan diri dulu sebelum masuk ke dalam aneka macam keinginan yang lebih luas dan menyangkut banyak orang.
Yang terakhir, dalam menjadi teladan satu hal yang penting juga bagi saya untuk direnungkan adalah kata-kata dari motto bahasa latin yang terkait dengan keutamaan kelembutan hati, “fortiter in re, suaviter in modo” artinya tegas/teguh/kuat dalam prinsip tetapi lembut dalam cara melakukannya. Bagian inilah yang saya rasa cukup sulit untuk dilakukan karena seringkali justru menegakkan prinsip atau idealisme, saya cenderung memakai cara yang keras pula, yang membuat kelompok atau komunitas terkait merasakan dampak negatifnya. Makanya ini menjadi pergulatan dalam hidup saya untuk bisa teguh/kuat dalam berprinsip tetapi memakai cara yang tidak menyinggung atau malah menyakitkan orang lain, bahkan komunitas. Saya masih ada di sini dan menjadi seperti sekarang ini karena komunitas, maka penting untuk selalu sadar akan kekuatan dan kesolidan sebuah komunitas itu. Saya mempunyai angan-angan tempat kita ini menjadi komunitas yang saling mendukung, merasa memiliki atau sense of belonging atas komunitas ini, sehingga bergerak maju bersama mengembangkan komunitas.
Semoga permenungan ini bisa menjadi berkat bagi saya dan kita semua. Terima kasih. Berkah Dalem.