Meninggalkan Rasa Nyaman Untuk Lebih Mensyukuri dan Memaknai Kehidupan

Berita

Ketika diberitahu untuk melaksanakan Misi di Kalimantan khususnya di Batulicin, kesan pertama merasa overthinking. Kira – kira disana nanti gimana ya lingkungannya, apakah hutan semua ? Terus orang – orangnya gimana ya ? Makanannya cocok engga ya ? Betah engga yaa selama 6 bulan tinggal disana ? Itu yang terpikirkan diawal ketika akan berangkat ke Kalimantan. Ternyata ketika sampai disana, pikiran – pikiran  dan ketakutan di awal tadi tidak seperti kenyataan yang dialami disana. Banyak pengalaman – pengalaman baru yang tentunya saya dapatkan selama 6 bulan disana yang tentu saja belum pernah saya alami selama tinggal di Jawa.

            Pada bulan – bulan pertama ketika tinggal di rumah Misi perlu adaptasi dengan kondisi rumahnya. Sebenarnya rumah Misi yang saya tinggali cukup nyaman , namun ada beberapa tempat yang membuat kurang nyaman. Pada bagian belakang rumah Misi khususnya digunakan untuk dapur, mencuci baju dan mencuci pakaian namun kondisinya tidak ada saluran pembuangan airnya secara langsung, sehingga sisa- sisa makanan akan tersangkut di bagian batu-batu dan tanah. Pada bagian tersebut di awal-awal juga sering keluar hewan – hewan seperti kelabang, lintah dan cacing. Di bagian ataop dalam rumah Misi ada yang bocor ketika hujan deras dan itu membuat saya jatuh sampai 3 kali.. heheee. Ada satu hal yang membuat saya merasa kurang nyaman saat awal-awal tinggal di rumah Misi yakni pada malam  hari ketika sudah tidur nyenyak, antara jam 01.00-02.00 WITA selalu terbangun karena pada kaca jendela kamar selalu ada yang mengetuk.

            Selama disana saya diminta untuk membantu di TKK Taman Harapan dan SDK St. Vincent. Dalam satu minggu waktu saya lebih banyak ada di SD daripada di TK. Ketika di SD saya diminta untuk mengajar TIK untuk semua jenjang dari kelas 1-6. Awalnya saya merasa kurang percaya diri untuk mengajar TIK karena bukan background pendidikan saya. Namun hal itu membuat saya menjadi tertantang dan itu berarti saya harus mencoba hal yang baru. Banyak referensi yang saya cari untuk bahan pembelajaran TIK, tentunya materi yang diajarkan pun dari kelas kecil beda dengan kelas besar. Dalam satu minggu dari hari Senin- Jumat disetiap harinya ada jadwal saya mengajar TIK. Selain mengajar TIK, saya juga ikut mendampingi anak-anak kelas kecil untuk ekstra menari. Dihari sabtunya jadwal saya adalah di TK yakni ikut mendampingi anak-anak ekstra main musik. Ketika mengajar di tiap – tiap kelas, hampir semua kelas khususnya di SD ada murid yang berkebutuhan khusus. Secara tidak langsung saya juga harus mampu untuk mengajar anak berkebutuhan khusus tersebut, karena anak itu juga mempunyai hak sama dengan teman-temannya yang lain yakni mendapatkan pembelajaran ketika di sekolah, meskipun caranya berbeda. Tentunya mengajar anak – anak TK dan SD sangat berbeda dengan mengajar anak-anak SMA. Lebih butuh kesabaran yang ekstra dan harus bisa menahan emosi ketika menghadapi anak-anak tersebut.

            Dihari sabtu dan minggu tentu masih ada kegiatan selama Misi di Batulicin, yakni mengajar di sekolah minggu di stasi-stasi. Stasi yang dikunjungi ada 4 yakni stasi Gunung Tinggi, Kuranji, Pal 26 dan 31. Dalam satu bulan pada masing – masing stasi kami mengunjunginya secara bergantian, jadi 2 kali pertemuan untuk tiap stasinya. Semua stasi tersebut berada di camp yang ada tengah – tengah hutan sawit. Perjalanan yang ditempuh pun juga sekitar 1 – 2 jam. Stasi yang paling jauh adalah Kuranji, distasi ini jalan sawitannya panjang dibanding stasi-stasi yang lain. Sekolah minggu dimulai pada pukul 4 sore, biasanya kami berangkat dari rumah pukul 2 atau paling lambat pukul setengah 3 sore. Di hari Sabtu pagi harinya tetap membantu di TK dulu, kemudian siangnya baru berangkat ke stasi. Banyak cerita ketika mengajar sekolah minggu di stasi-stasi, entah itu dalam perjalanannya ataupun pada saat sampai di tempatnya. Pada saat perjalanan diawali dengan jalan yang dilalui banjir, kemudian di jalan ketemu hewan-hewan seperti ular dan monyet. Belum lagi kalau pulang dari stasi kondisi sudah gelap dan ditambah lagi hujan, sepanjang jalan di sawitan cuman berdoa. Beberapa kali juga di tengah perjalanan ada halangan ban motor bocor atau motor mogok, bahkan juga pernah sekali saya jatuh dari motor dan mengalami luka ringan.

            Selanjutnya pengalaman ketika bertemu dengan anak – anak di stasi, mereka sangat bersemangat ketika kami datang untuk mengajar sekolah minggu. Namun sesekali saya harus mendatangi rumah anak – anak satu persatu untuk mengajak mereka ikut sekolah minggu. Anak – anak di stasi tersebut disekolahnya tidak ada guru agama Katolik, jadi selain mengajar sekolah minggu kami tim misi juga mengajarkan sedikit – sedikit tentang agama dan memberi nilai rapot untuk mereka. Anak – anak di stasi tentu saja beda dengan anak – anak yang ada kota. Banyak anak – anak disana yang sudah kelas 1 – 2 SD tapi belum bisa membaca dengan lancar. Untuk ruang kelas di sekolah mereka pun juga terbatas, contohnya di stasi PAL 26 hanya ada 4 kelas dalam satu sekolah. Satu kelas untuk kelas 1 dan 2 digabung , kelas satunya untuk kelas 3-5 digabung juga, sedangkan kelas satunya untuk ruang guru. Kebetulan saat itu belum ada siswa yang duduk di kelas 6. Guru yang mangajar disana pun juga terbatas.

            Rumah- rumah yang ada di stasi juga sama semua, karena itu rumah perusahaan. Terkadang air disana sering mati. Kemudian juga listrik juga belum 24 jam menyala, khususnya di stasi Kuranji, listrik hanya menyala pada pukul 6 sore hingga 9 malam kemudian nyala lagi pada pukul 4 pagi hingga 8 pagi. Tapi dengan keadaan yang serba dibatasi tersebut mereka masih bisa bertahan hidup dan menjalani hari – hari dengan baik.

            Dari pengalaman – pengalaman yang saya rasakan diatas selama bermisi di Batulicin banyak sekali hal yang saya dapatkan. Tentunya semua pengalaman tersebut ada di dalam Nilai – nilai Vincensian. Diawali dengan Nilai Matiraga, yakni dibulan – bulan awal saya harus bisa menyesuaikan diri dengan tempat tinggal dan lingkungan sekitarnya. Khususnya di rumah Misi dengan air yang berwarna coklat, kemudian keadaan belakang rumah yang sering keluar hewan – hewan melata dan juga keadaan dalam rumah yang di beberapa titik bocor ketika hujan deras dan membuat saya terpeleset. Nilai Kesederhanaan saya ambil dari pengalaman saya ketika di stasi Kuranji. Dengan keterbatasan listrik dan air, masyarakat disana masih bisa menjalani hidup sehari – hari dengan baik. Terkadang juga kalau ingin belanja juga harus menempuh jarak yang tidak dekat dan melewati sawitan yang panjang. Ada juga distasi PAL 26 dengan kondisi sekolah yang hanya ada 3 kelas, namun anak – anak disana tetap bersemangat untuk belajar dan datang ke sekolah. Nilai Kerendahan Hati saya ambil pengalaman dari anak ibu kantin yang ada di SD, dimana pada saat istirahat anak dari ibu kantin tersebut rela tidak bermain dengan teman- temannya melainkan anak tersebut membantu ibunya untuk berjualan dan melayani pembeli yang tidak lain adalah teman – temannya. Nilai Kelembutan Hati saya ambil dari pengalaman pada saat saya mengajar anak-anak SD dan TK. Butuh kesabaran ekstra ketika mengajari mereka, karena anak-anak SD dan TK masih butuh perhatian lebih, apalagi anak – anak yang berkebutuhan khusus. Kalau tidak sabar bisa – bisa anak-anak takut dan menangis. Dan nilai terakhir adalah Penyelamatan Jiwa – jiwa, nilai ini saya ambil ketika saya mengajar sekolah minggu di stasi-stasi. Terkadang saya harus menjemput anak -anak ke rumahnya masing- masing supaya mau ikut datang sekolah minggu. Tentunya juga saya ditemani anak lain yang tahu rumah teman- temannya.

            Dari pengalaman saya selama bermisi di Batulicin, tentunya merupakan pengalaman luar biasa yang tidak akan pernah saya lupakan. Saya juga banyak belajar dari pengalaman yang saya dapatkan disana. Belajar untuk lebih banyak bersyukur dengan apa yang sudah dialami dan dimiliki saat ini. Belajar untuk lebih sabar lagi menghadapi para peserta didik. Belajar untuk melepas rasa nyaman dengan keadaan yang selama ini selalu tersedia.

Jika suatu saat ada kesempatan lagi untuk berkunjung kesana, pasti saya tidak akan menolaknya.

Terima kasih untuk semua orang yang saya temui di Batulicin,  Romo, Suster dan Farter, Gukar SDK St.Vincentius, Gukar SDK Taman Harapan, Umat dan OMK Paroki St.Vincentius a Paulo yang sudah menerima saya selama 6 bulan disana dengan baik.

Terima kasih juga untuk Yayasan Lazaris Surabaya yang sudah memberikan kesempatan saya untuk Bermisi di Batulicin.

Terima kasih pula untuk Gukar SMAK St.Louis 2 Surabaya atas dukungan dan doanya sehingga saya bisa menyelesaikan misi di Batulicin.

 

Kiranya Tuhan Memberkati kita semua. Amin