Karena Keterbatasan, Akhirnya Paham

Lain-lain

Bahagia dan khawatir adalah perasaan pertama ketika membuka dan membaca Surat Keputusan dari Yayasan bahwa saya akan bertugas misi di Serawai, Kalimantan Barat selama enam bulan. Persiapan mental dan materi saya siapkan semenjak saya membaca surat itu. Kekhawatiran apakah saya akan mampu beradaptasi dengan Serawai? Apakah saya akan diterima dengan baik di Serawai? Apakah saya akan baik-baik saja selama bermisi? Tentunya khawatir adalah perasaan yang biasa dirasakan ketika akan menghadapi hal baru.

                Keberangkatan saya ke Serawai pada tanggal 7 Januari 2024, bersama dengan Bu Christy (guru SMK), diantar oleh Romo Alex dan Pak Heru. Perjalanan yang membutuhkan waktu sangat panjang dan melelahkan. Bagaimana tidak lelah, selama enam jam kami digoncang hebat di dalam mobil. Jalan aspal? Ya aspal alami, alias tanah kuning. Kalau offroad paling lama 2 jam, ini kami harus merasakan waktu 6 jam, bisa dibayangkan bagaimana rasanya itu. Hanya saja, saya menikmati perjalanan yang penuh tantangan itu sehingga terasa seru saja. Beberapa kali mobil yang kami tumpangi harus ditarik karena terpater tanah yang sangat becek. Tapi justru itulah keseruannya. Intinya, ketika kita bisa menikmati sesuatu, hal-hal yang nampaknya menyusahkan jadi menyenangkan.

                Sampai di Serawai pada tanggal 8 Januari 2024, pukul 14.40. Setelah sampai di Serawai dan diajak berkeliling singkat dengan frater, ternyata Serawai bukanlah hutan yang saya bayangkan. Ya mungkin seperti Jawa pada tahun 1990an. Rumah yang saya tinggali terbuat dari kayu, sangat sederhana. Awal masuk rumah, saya merasa ragu apakah betah tinggal di rumah seperti ini selama enam bulan. Tidak ada lemari, tidak ada kursi, tidak ada meja, papan kayu yang banyak celah, dan lantai dapur yang bolong-bolong.

                Hidup sederhana sudah dimulai sekarang. Tidak sampai di situ, keterkejutan yang lain adalah listrik hanya menyala setengah hari, dari pukul 15.00 – 06.00 dan sinyal yang sering menghilang. Enam bulan dengan kondisi seperti ini, apa bisa? Itulah pikiran saya ketika beberapa hari di sana. Membandingkan dengan kehidupan di Surabaya yang serba canggih, serba cepat, tiba-tiba saya harus menyesuaikan kehidupan di Serawai yang serba terbatas.

                Dengan adanya keterbatasan ini, tentunya keberlangsung dalam pendidikan juga memiliki keterbatasan. Daerah yang sulit dijangkau membuat sarana prasarana pendidikan juga sangat minim. Misalnya, listrik yang tidak tersedia saat pagi hingga siang, maka sekolah hanya mengandalkan diesel. Sering kali, diesel pun tidak nyala karena tidak ada bahan bakar maupun rusak.

                Lab. komputer hanya terdapat 10-15 komputer saja, sehingga satu komputer bisa 2-3 anak. Berhubung listrik bersumber dari diesel, maka pembelajaran komputer tidak sering dilakukan karena menghasilkan arus listrik yang tidak stabil sehingga merusak komputer. Jadi, anak-anak lebih sering belajar teori daripada praktik. Bukan hal aneh lagi bahwa mereka belum tahu cara menghidupkan bahkan mematikan komputer.

                Keterbatasan pendidikan yang lain adalah kurangnya proyektor. Di sekolah, hanya ada dua proyektor saja, sehingga guru harus bergiliran untuk menggunakannya. Oleh karena itu, saya sangat jarang menggunakan PPT untuk memberikan materi kepada mereka. Dapat dihitung jari saya mengajar menggunakan proyektor dalam pembelajaran. Selain proyektor, sebagian besar anak-anak tidak memiliki hp sehingga pembelajaran benar-benar seperti zaman saya saat masih SMP, sekitar tahun 2008.

Pembelajaran yang biasanya berbasis digital, kini saya harus beradaptasi dengan pembelajaran berbasis apa adanya. Itulah yang terbersit dalam benak saya ketika harus menghadapi berbagai kesulitan dalam sarana pembelajaran. Walaupun seperti itu, ternyata saya masih bisa mengajar mereka dan pembelajaran berlangsung dengan baik. Lebih mengejutkan lagi, ketika ujian tengah semester mereka tidak mendapatkan soal tertulis, melainkan soal yang dibacakan oleh guru pengawas karena ketersediaan kertas yang terbatas.

Saya tahu bahwa pembelajaran dengan bermodal papan tulis dan spidol saja anak-anak akan merasa bosan. Di Surabaya biasa bermain quizizz karena ada hp, biasanya menggunakan wordwall untuk game berbasis materi, biasanya mudah untuk print bahan ajar, kini semuanya jadi sulit dilakukan. Akhirnya saya harus mencari ide bagaimana caranya agar pembelajaran saya tetap menyenangkan dengan segala keterbatasan. Yang pertama, saya membuat media ular tangga dengan hasil gambar saya sendiri yang saya kerjakan selama dua minggu. Ternyata pembuatan media ini cukup melelahkan dan menyita waktu saya, sehingga saya mencari ide lain lagi untuk membuat kebahagiaan dalam belajar mereka.

Akhirnya, saya menemukan game salah/benar dan pertandingan kelompok yang sederhana. Dalam pembelajaran itu, saya tidak membutuhkan media yang sulit dibuat bahkan saya tidak memerlukan apa pun untuk membahagiakan mereka dalam belajar. Game salah/benar ini semua kelompok diberi waktu untuk menjawab pertanyaan sesuai dengan materi yang diberikan. Yang membuat ini seru, karena waktu yang sedikit dan mereka harus berlari-lari untuk mengantarkan jawaban ke tempat yang sudah disediakan. Game ini saya buat agar mereka termotivasi untuk mendengarkan materi yang saya berikan.

Membuat proses pembelajaran yang menyenangkan itu bukanlah hal yang mudah. Akan tetapi, itulah tugas guru yang utama, mendidik dan membuat anak-anak senang dalam belajar. Anak-anak memang mudah bosan, dan itulah tugas kita sebagai guru untuk membuat mereka tetap semangat dalam belajar. Karena keterbatasan ini, saya semakin sadar, bahwa menjadikan pembelajaran yang menyenangkan tidak harus mahal tidak harus rumit. Semua itu tergantung pada saya sebagai guru, mau atau tidak untuk mengelola pembelajaran di kelas menjadi lahan belajar dan bermain mereka.